Dzikir jahr dibai’atkan
kepada Ali bin Abi Thalib, yaitu pada malam hijrahnya Nabi Muhammad dari Makkah
ke kota Yasrib (Madinah) pada saat Ali hendak menggantikan posisi Nabi dengan
menempati tempat tidur beliau dan memakai selimutnya.
Dengan talqin dzikir ini Ali
mempunyai keberanian ekstra dan makin bertawakkal kepada Alloh. Ali berani
“menyamar” sebagai Nabi, sedangkan ia tahu persis bahwa Nabi sedang terancam
maut. Selanjutnya dzikir ini ditalqinkan Ali kepada puteranya, Sayyidina
Husein. Kemudian Husein mentalqinkan kepada anaknya, Ali Zainal Abidin. Dan
seterusnya Dzikir ini ditalqinkan secara sambung menyambung sampai kepada
mursyid-mursyid tarekat.
Seorang murid mengikuti talqin ini
maka secara resmi dia sudah menjadi pengikut tarekat. Selanjutnya dia
mengamalkan ajaran-ajaran dalam tarekat tersebut, khususnya dalam tata cara
dzikirnya. Pertama-tama seorang zâkir harus membaca istighfâr sebanyak yang
diajarkan, kemudian membaca shalawât, baru kemudian mengucapkan dzikir dengan mata
terpejam agar lebih bisa menghayati arti dan makna kalimat yang diucapkan yaitu
lâ ilâha illa Alloh.
Tekniknya, mengucap kata la
dengan panjang, dengan menariknya dari bawah pusat ke arah otak melalui kening
tempat diantara dua alis, seolah-olah menggoreskan garis lurus dari bawah pusat
ke ubun-ubun –suatu garis keemasan kalimat tauhid–. Selanjutnya
mengucapkan ílâha seraya
menarik garis lurus dari otak ke arah kanan atas susu kanan dan menghantamkan
kalimat illa Alloh ke dalam hati sanubari yang ada di bawah susu kiri
dengan sekuat-kuatnya.
Ini dimaksudkan agar lebih
menggetarkan hati sanubari dan membakar nafsu-nafsu jahat yang dikendalikan
oleh syetan.
Selain dengan metode gerakan
tersebut, praktek dzikir di sini juga dilaksanakan dengan ritme dan irama
tertentu. Yaitu mengucapkan kalimat lâ, ilâha, illa Alloh, dan
mengulanginya 3X secara pelan-pelan
Setelah pengulangan ketiga, dzikir
dilaksanakan dengan nada yang lebih tinggi dan dengan ritme yang lbih cepat.
Semakin bertambah banyak bilangan dzikir dan semakin lama, nada dan ritmenya
semakin tinggi agar “kefanaan” semakin cepat diperoleh. Setelah sampai hitungan
tertentu dzikir dihentikan, dan langsung diikuti dengan ucapan
Muhammadur Rasulullâh shallallâhu ‘alaih wa sallam. Demikian teknik yang
dilakukan, seterusnya setiap kali usai shalat ¸ kewajiban dzikir ini menjadi
baku bagi murid yang sudah bai’at.
Jadi Dzikir pertama yang diamalkan
murid adalah dzikir nafsi isbât, dengan suara jahr, inilah yang
merupakan inti ajaran thoriqoh