KEMULIAAN BERBAKTI PADA GURU
Tokoh Bima dalam cerita Dewaruci diamanatkan bahwa
sebagai murid ia demikian taat. Sewaktu ia dicegah oleh saudara-saudaranya agar
tidak menjalankan perintah gurunya, Pendeta Durna, ia tidak menghiraukan. Ia
segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya di kerajaan guna mencari tirta
pawitra. Taat menjalankan perintah guru secara filosofis adalah sebagai
realisasi salah satu tahap syariat.
Nilai Filosofis Bima Hormat kepada Guru
Selain taat tokoh Bima juga sangat hormat kepada
gurunya. Ia selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan
kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, ia selalu menggunakan ragam Krama.
Pernyataan rasa hormat dengan bersembah bakti dan penggunaaan ragam Krama
kepada gurunya ini secara filosofis merupakan realisasi sebagian laku syariat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan
dengan Tarekat
Tarekat (Jawa laku budi, sembah cipta) adalah
tahap perjalanan menuju manusia sempurna yang lebih maju. Dalam tahap ini
kesadaran hakikat tingkah laku dan amalan-amalan badaniah pada tahap pertama
diinsyafi lebih dalam dan ditingkatkan (Mulder, 1983:24). Amalan yang dilakukan
pada tahap ini lebih banyak menyangkut hubungan dengan Tuhan daripada hubungan
manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.
Pada tingkatan ini penempuh hidup menuju manusia sempurna akan menyesali
terhadap segala dosa yang dilakukan, melepaskan segala pekerjaan yang maksiat,
dan bertobat. Kepada gurunya ia berserah diri sebagai mayat dan menyimpan
ajarannya terhadap orang lain. Dalam melakukan salat, tidak hanya salat wajib
saja yang dilakukan. Ia menambah lebih banyak salat sunat, lebih banyak berdoa,
berdikir, dan menetapkan ingatannya hanya kepada Tuhan. Dalam menjalankan
puasa, tidak hanya puasa wajib yang dilakukan. Ia lebih banyak mengurangi
makan, lebih banyak berjaga malam, lebih banyak diam, hidup menyendiri dalam
persepian, dan melakukan khalwat. Ia berpakaian sederhana dan hidup mengembara
sebagai fakir.
Bagian-bagian cerita Dewaruci yang menyatakan
sebagian tahap tarekat di antaranya terdapat pada pupuh II Pangkur bait 29-30.
Diamanatkan dalam teks ini bahwa Bima kepada gurunya berserah diri sebagai
mayat. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka
Hutan Tikbrasara, Bima kembali kepada Pendeta Durna. Air suci tidak didapat. Ia
menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna
menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima
tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di
atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut
menjalankan perintah Sang Pendeta”. Ia segera berangkat ke tengah samudra.
Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima
yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada guru ini secara filosofis
merupakan realisasi sebagian tahap laku tarekat.
Nilai Filosofis Perjalanan Bima yang Berkaitan
dengan Hakikat
Hakikat (Jawa laku manah, sembah jiwa) adalah
tahap perjalanan yang sempurna. Pencapaian tahap ini diperoleh dengan mengenal
Tuhan lewat dirinya, di antaranya dengan salat, berdoa, berdikir, atau menyebut
nama Tuhan secara terus-menerus (bdk. Zahri, 1984:88). Amalan yang dilakukan
pada tahap ini semata-mata menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan. Hidupnya
yang lahir ditinggalkan dan melaksanakan hidupnya yang batin (Muder, 1983:24).
Dengan cara demikian maka tirai yang merintangi hamba dengan Tuhan akan
tersingkap. Tirai yang memisahkan hamba dengan Tuhan adalah hawa nafsu
kebendaan. Setelah tirai tersingkap, hamba akan merasakan bahwa diri hamba dan
alam itu tidak ada, yang ada hanyalah “Yang Ada”, Yang Awal tidak ada permulaan
dan Yang Akhir tidak berkesudahan.
Dalam keadaan demikian, hamba menjadi betul-betul
dekat dengan Tuhan. Hamba dapat mengenal Tuhan dan melihat-Nya dengan mata
hatinya. Rohani mencapai kesempurnaan. Jasmani takluk kepada rohani. Karena
jasmani takluk kepada rohani maka tidak ada rasa sakit, tidak ada susah, tidak
ada miskin, dan juga maut tidak ada. Nyaman sakit, senang susah, kaya miskin,
semua ini merupakan wujud ciptaan Tuhan yang berasal dari Tuhan. Segala sesuatu
milik Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, manusia hanya mendaku saja.
Maut merupakan perpindahan rohani dari sangkar
kecil kepada kebebasan yang luas, mencari Tuhan, kekasihnya. Mati atau maut
adalah alamat cinta yang sejati (Aceh, 1987:67).
Tahap ini biasa disebut keadaan mati dalam hidup
dan hidup dalam kematian. Saat tercapainya tingkatan hakikat terjadi dalam
suasana yang terang benderng gemerlapan dalam rasa lupa-lupa ingat, antara
sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan seperti ini muncul Nyala Sejati atau Nur
Ilahi (Mulyono, 1978:126). Sebagian tahap hakikat yang dilakukan atau dialami
oleh tokoh Bima, di antaranya ialah: mengenal Tuhan lewat dirinya, mengalami
dan melihat dalam suasana alam kosong, dan melihat berbagai macam cahaya
(pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna delapan, dan benda
bagaikan boneka gading yang bersinar).
Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya
menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya
lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya
tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci.
Bima masuk ke dalam badan Dewaruci melalui
“telinga kiri”. Menurut hadis, di antaranya Al-Buchari, telinga mengandung
unsur Ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui
“telinga kanan”. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis
dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan
“kanan” berarti ‘baik (dalam arti yang luas)’. Masuk melalui “telinga kiri”
berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih (bdk.
Seno-Sastroamidjojo, 1967:45-46).
Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia
kemudian melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama
dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima
waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri (bdk.
Magnis-Suseno, 1984:115). Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan
dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini
secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya
sendiri. Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah
mulai memperoleh kebahagiaan (bdk. Mulyono, 1982:133). Pengenlan diri lewat
simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah
mencapai tahap hakikat.
Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat
dan merasakan bahwa dirinya
tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Alloh semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188).
tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Alloh semata. Segalanya telah hancur lebur kecuali wujud yang mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana ke dalam Tuhan (Simuh, 1983:312). Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal (Daudy, 1983:188).
Zat Tuhan
telah berada pada diri hambabnya (Simuh, 1983:311), Bima telah sampai pada
tataran hakikat.
Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak
melihat apa-apa, ia sangat bingung.
Tiba-tiba ia melihat dengan jelas
Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.
Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.
Setelah mengalami suasana
alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya.
Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan,
empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat
berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima
telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya
Tokoh utama Bima disebutkan melihat pancamaya. Pancamaya adalah cahaya yang
melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama.
Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan
merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya.
Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu:
merah, hitam, dan kuning.
Bima disebutkan melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning,
dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama. Ketiga warna yang
pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya
dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan
selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya. Oleh karena itu,
perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya. Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.
Yang hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Yang kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Oleh Sri Mulyono (1982:39) nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan Tuhannya. Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.
Bima dalam badan Dewaruci selain melihat pancamaya melihat urub siji wolu
kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal
berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluiruh
warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada
badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya
tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh
warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang
sejati, Yang Tunggal.
Bima dalam badan Dewaruci
di samping melihat pancamaya, empat warna cahaya, sinar tunggal berwarna
delapan, ia melihat benda bagaikan boneka hading yang bersinar. Itu adalah
Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya
dibabtasi oleh jasad. Dalam teks diumpamakan bagaikan lebah tabuhan. Di
dalamnya terdapat anak lebah yang menggantung menghadap ke bawah. Akibatnya
mereka tidak tahu terhadap kenyataan yang ada di atasnya (Hadiwijono, 1983:40)
Makrifat (Jawa laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan menuju manusia sempurna
yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui
sesuatu dengan seyakin-yakinnya (Aceh, 1987:67). Dalam tasawuf, makrifat
berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan
sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya (Nicholson, 1975:71), meliputi
zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu
ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi
manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan
bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal
seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah
merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan
(Nicholson, 1975:14
(Jawa tan kena kinaya ngapa) (Mulyono, 1982:47), yang
dirasakan hanyalah indah (Zahri, 1984:89). Dalam masyarakat Jawa hal ini
disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti,
jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.
Pada titik ini manusia
tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan
bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi
wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi
inspirasi kepada manusia yang lain (de Jong, 1976:69; Mulder, 1983:25). Ia
mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh
manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan
dunia yang fana ini (Aceh, 1987:70). Tindakan diri manusia semata-mata menjadi
laku karena Tuhan (Subagya, 1976:85).
Keadaan yang dialami oleh
Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di
antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan
ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan
mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari
bumi.
Wujud “Yang Sesungguhnya”, yang meliputi segala yang ada
di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu,
yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah
manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan
pendengaran-Nya (bdk. Nicholson, 1975:100-1001). Badan lahir dan badan batin
Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya,
bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.
Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).
Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda (Nicholson, 1975:158-159). Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi (Hadiwijono, 1983:94).
Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa (Hadiwijono, 1983:45).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar